Mengurai Makna, Merajut Hukum: Gramatika Arab di Lirboyo (Bagian 1)

Keunikan Belajar Gramatika Arab di Lirboyo

Di sebuah pagi yang dibasahi embun Kediri, denting lonceng masjid memecah sunyi, menandakan dimulainya halaqah ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo. Para santri berlarian kecil dari kamar ke serambi, membawa kitab yang telah mulai menguning—Al-Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyah Ibnu Malik—kitab-kitab gramatika Arab yang tak lekang oleh waktu. Di balik lembar-lembar itu, tersembunyi kunci pembuka khazanah hukum Islam klasik, yang hanya bisa ditafsirkan dengan ketekunan dan musyawarah: Batsul Masail.

Sebuah Warisan Hidup dalam Gramatika

Belajar nahwu dan sharaf di Lirboyo bukan sekadar mengeja i’rab dan tashrif. Ia adalah perjalanan spiritual dan intelektual, menelusuri jejak ulama terdahulu yang menganyam makna dengan kehati-hatian luar biasa. Gramatika Arab di sini bukan ilmu mati, tapi nadi dari seluruh tubuh pemahaman Islam.

Seorang santri muda bernama Hilmi, berasal dari Pekalongan, duduk termenung setelah ba’da Isya. Tangannya masih menggenggam Alfiyah, matanya menerawang. Ia baru saja mengikuti musyawarah Batsul Masail, sebuah forum di mana para santri berkumpul untuk menggali dan menyelami hukum Islam dari kitab kuning—dengan panduan gramatika sebagai lentera.

“Ternyata, satu harakat bisa membalik makna. Kalau salah i’rab, bisa keliru hukum,” gumam Hilmi pelan.

Apa yang ia pelajari pagi harinya tentang fi’il mu’thall, kini menjelma menjadi alat tafsir ayat-ayat hukum dalam Fathul Mu’in dan Tuhfah. Di sinilah, gramatika bukan sekadar pelajaran bahasa. Ia menjadi senjata dalam menjawab problematika umat.

Batsul Masail: Arena Dialektika Santri

Di forum Batsul Masail, para santri bukan hanya menyimak. Mereka berdialektika. Satu dalil ditimpali dalil lain, satu qaul ditantang dengan pendapat madzhab lain—semuanya bersandar pada kekuatan analisis bahasa Arab klasik. Inilah keunikan Lirboyo: ilmu bahasa bukan untuk bersyair atau berorasi, tapi untuk mengurai hukum yang tersimpan rapi di balik lapisan-lapisan teks salaf.

Seorang santri senior, Mahbub, berkata lantang di forum:

“Kalau kita tak paham badal dan na’at, kita akan salah menyimpulkan ayat waris. Dan itu bukan sekadar kesalahan ilmiah—tapi bisa berdampak pada hak hidup seseorang.”

Ucapannya membekas. Karena memang, begitulah ilmu diposisikan di Lirboyo—bukan di awang-awang, tapi mendarat langsung ke realitas umat.

Gramatika yang Berjiwa

Kisah di Lirboyo adalah kisah tentang hidupnya gramatika. Ketika kitab Alfiyah dibaca bersama-sama dengan mata yang berbinar, ketika musyawarah membakar semangat malam, dan ketika i’rab bukan hanya soal struktur kalimat, melainkan penuntun dalam menafsirkan nas-nas syariat.

Di Lirboyo, gramatika Arab tidak diajarkan untuk membanggakan kefasihan, tapi untuk menghidupkan warisan. Setiap santri menjadi pewaris, bukan sekadar pelajar. Setiap diskusi menjadi ladang amal, bukan ajang debat kosong.

Penutup: Menjadi Santri, Menjadi Penafsir Zaman

Belajar gramatika Arab di Lirboyo adalah pengalaman yang tak hanya melatih logika, tapi juga melembutkan jiwa. Di antara harakat dan makna, santri belajar rendah hati. Karena mereka tahu, satu kata dalam bahasa Arab bisa menyimpan puluhan hukum. Dan tugas mereka, dengan musyawarah dan kesabaran, adalah mengungkapkannya.

Maka, jika engkau ingin belajar bahasa Arab bukan hanya untuk bisa membaca, tapi untuk menafsirkan zaman dan menjawab kebutuhan umat—maka datanglah ke Lirboyo. Di sana, gramatika menjadi cahaya, dan Batsul Masail adalah cermin peradaban.


Posting Komentar

0 Komentar