CINTA DAN ASA DI BUMI NGEMPLAK


Cinta dan Asa di Bumi Ngemplak


Kata Pengantar


Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga novel ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Menulis adalah bentuk perjalanan jiwa yang tidak pernah berakhir, sebuah petualangan yang membawa kita menyusuri lembah-lembah perasaan, menelusuri lorong-lorong makna, dan merangkai kata menjadi sebuah cerita yang hidup. Novel ini adalah hasil dari proses panjang perenungan dan kecintaan saya terhadap dunia pesantren, khususnya Pondok Pesantren Ngemplak—sebuah tempat yang tidak hanya menjadi ladang ilmu, tetapi juga tempat hati dan pikiran belajar menemukan makna sejati dalam setiap detiknya.
Ngemplak bukan sekadar bangunan atau ruang belajar, ia adalah semesta kecil yang penuh dengan hikmah. Di dalamnya, para santri hidup dalam kesederhanaan, namun kaya akan ilmu dan persahabatan. Dari sana, saya terinspirasi untuk merangkai kisah ini—sebuah cerita tentang cinta, perjuangan, dan kebijaksanaan yang tumbuh di tanah yang diberkahi.
Kisah dalam novel ini berpusat pada tokoh Kang Pijat dan Ning Amelia Khumaira, yang bersama-sama meniti jalan kehidupan di tengah atmosfer pesantren. Saya berharap, setiap pembaca dapat merasakan suasana Ngemplak yang begitu hidup, mencium aroma kitab kuning yang tersusun rapi, mendengar lantunan hafalan para santri, dan merasakan setiap langkah kaki mereka yang penuh semangat menuntut ilmu.
Semoga karya sederhana ini dapat memberikan inspirasi, membuka hati, dan memperkaya wawasan kita semua. Saya berharap, cerita ini bisa dinikmati oleh semua kalangan, baik yang mengenal dunia pesantren maupun yang belum pernah menginjakkan kaki di dalamnya. Karena pada akhirnya, ilmu dan cinta adalah bahasa universal yang bisa dipahami oleh siapa saja.
Selamat membaca dan semoga perjalanan Kang Pijat dan Ning Amel bisa menjadi pelajaran berharga untuk kita semua.

Boyolali, 2025
Muhammad Ahsan Alkafa Billah




Biografi Penulis

Muhammad Ahsan Alkafa Billah lahir di Boyolali pada tahun 1999. Ia tumbuh besar di lingkungan yang mencintai ilmu dan tradisi pesantren. Sejak kecil, Ahsan sudah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap dunia literasi dan seni bercerita. Buku-buku sastra dan karya-karya besar para ulama menjadi teman setianya dalam meniti perjalanan ilmu.
Pendidikan formal dan spiritualnya ditempa di Pondok Pesantren , sebuah tempat yang menjadi pusat pengkaderan ilmu agama dan penggemblengan akhlak. Di sana, ia memperdalam ilmu-ilmu agama seperti nahwu, sharaf, balaghah, mantik, ushul fiqh, dan sastra Arab yang tinggi. Selama bertahun-tahun, ia belajar di bawah bimbingan para masyayikh yang dikenal alim dan bijaksana.
Selain menekuni pendidikan agama, Ahsan juga gemar menulis dan berimajinasi. Baginya, menulis adalah cara untuk mengabadikan hikmah dan pengalaman hidup yang penuh makna. Melalui tulisan, ia ingin menyampaikan keindahan ilmu dan kedalaman makna yang ia pelajari di Ngemplak kepada para pembaca di luar sana.
Karya-karya tulisannya kaya akan narasi yang hidup dan penuh dengan nilai-nilai Islam yang sejuk. Ahsan meyakini bahwa sebuah cerita tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga jembatan untuk memahami hakikat kehidupan dan cinta yang sesungguhnya.
Novel yang ditulisnya kali ini, terinspirasii dari pengalaman nyata dan keindahan hidup di Ngemplak, diharapkan mampu menginspirasi banyak orang untuk lebih mencintai ilmu, memahami makna persahabatan, dan menghayati keagungan cinta yang diselimuti oleh ketulusan dan pengorbanan.


Daftar isi 
Prolog: Napak Tilas Kisah Cinta di Tanah Ngemplak
Bab 1: Warung Ndalem dan Nasi Goreng Maut Kang Bayu
Bab 2: Tawa Santri dan Humor Kang Rohmat
Bab 3: Lapangan dan Semangat Gus Hikam
Bab 4: Penjajahan Kuliner oleh Kang Yazid
Bab 5: Pertemuan Pertama dengan Ning Zitna Khumaira
Bab 6: Dialog Cinta dalam Bingkai Ilmu
Bab 7: Jejak Langkah di Masjid Ngemplak
Bab 8: An-Nahdliyah dan Asa Perjuangan
Bab 9: Magbaroh - Merenung dalam Sunyi
Bab 10: Persimpangan Hati dan Takdir
Bab 11: Lembah Hati yang tak terungkap
Bab 12: Epilog – akhir cinta yang bahagia



   Napak Tilas Kisah Cinta di Tanah Ngemplak
Di bawah langit Ngemplak yang selalu teduh, langkah para santri berpadu dengan ritme suara ngaji yang bergema di setiap sudut pondok. Di tengah kesibukan itu, ada sosok yang selalu hadir dengan senyumnya yang bersahaja—Kang Pijat. Nama aslinya mungkin tidak banyak dikenal, namun sentuhan tangannya yang lihai dan penuh kehangatan membuatnya akrab di hati para santri. Di sudut yang berbeda, berdiri anggun Ning Amelia Khumaira. Sosok perempuan yang tidak sekadar berdiri di balik nama besar ayahnya, seorang kiai terpandang. Ia menghidupkan pengajian di madrasah, mengajar dengan lembut dan tegas, sekaligus merajut asa melalui butik busana syar'i miliknya.
 
Pondok ini tidak hanya menjadi saksi tumbuhnya ilmu, tetapi juga menyimpan jejak cinta yang mengakar dalam. Di antara langkah-langkah menuju Masjid kuno, di antara aroma masakan Kang Bayu yang selalu membuat para santri tak sabar, dan di antara gelak tawa Kang Rohmat yang menghidupkan suasana, cerita itu mulai tertulis.
Di sinilah perjalanan mereka dimulai. Di tengah lantunan doa dan gemericik wudhu, Kang Pijat dan Ning Amelia Khumaira menjalani takdir yang entah bagaimana akan berakhir. Namun satu yang pasti, Ngemplak menjadi saksi. Saksi cinta yang terjalin dalam bingkai ilmu dan perjuangan.

 Warung Ndalem dan Nasi Goreng Maut Kang Bayu
Suasana pagi di Ngemplak selalu menggeliat dalam ritme yang unik. Ketika sinar matahari mulai menelisik di sela-sela pepohonan tinggi, aroma masakan yang khas menyebar dari arah Warung Ndalem. Warung itu dikelola oleh seorang santri senior bernama Kang Bayu, yang terkenal dengan "Nasi Goreng Maut"-nya. Bukan sekadar nama yang mengerikan, tapi rasa pedasnya benar-benar mengguncang lidah siapa pun yang berani mencobanya.

Setiap pagi, para santri berduyun-duyun datang, mengantri dengan senyum lebar, seolah sudah siap untuk menerima serangan pedas yang melegenda itu. "Kang Bayu, tambah pedas ya!" teriak seorang santri yang berdiri di barisan depan. Kang Bayu hanya tertawa sembari menggulung lengan bajunya, bersiap memainkan wajan besar yang menjadi senjatanya sehari-hari.
"Tahu tidak? Pedas itu melatih kesabaran. Kalau kamu bisa sabar menghadapi nasi gorengku, insyaAllah sabar menghadapi hidup," katanya sambil tersenyum lebar. Para santri yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak, meskipun beberapa di antara mereka sudah bersiap dengan segelas air dingin sebagai pertahanan.

Dari kejauhan, Kang Pijat memperhatikan keramaian itu dengan senyum simpul. "Lagi-lagi Kang Bayu dengan filosofi nasinya," gumamnya sembari melangkah mendekat. Ketika sampai di meja panjang yang penuh dengan piring nasi goreng mengepul, ia menyapa Kang Bayu. "Kang, lagi-lagi bikin santri kepedesan?" tanyanya sembari tertawa kecil.

Kang Bayu mengangkat wajahnya, masih dengan wajan di tangan, "Kang Pijat, kalau bukan dengan pedas, bagaimana cara mereka belajar sabar? Hidup di pondok ini tidak sekadar belajar kitab, tapi juga belajar hidup. Nasi goreng ini sebagian dari pelajaran itu."
Kang Pijat tertawa terbahak-bahak. "Ya, tapi jangan sampai mereka tumbang sebelum belajar, Kang," balasnya. Mereka berdua tertawa lepas, menikmati pagi yang penuh semangat itu.

Di sudut meja, tampak Kang Yazid menikmati piring nasinya dengan santai. "Nggak ada yang ngalahin nasi goreng di sini," katanya sambil mengacungkan jempol. Dia terkenal sebagai penjajah kuliner se-Ngemplak, selalu mencari makanan terbaik di setiap sudut pondok.
Sementara itu, Gus Hikam datang dengan langkah cepat, mengenakan kaos olahraga dan celana training. "Nasi goreng dulu baru lari pagi!" serunya dengan semangat. 

Tak butuh waktu lama baginya untuk mengambil piring dan duduk di sebelah Kang Yazid.
Kang Bayu tertawa, "Gus Hikam, kalau kamu lari setelah makan pedas, mungkin akan lebih cepat!"
Gus Hikam mengangguk. "Benar juga, bisa jadi motivasi!"
Obrolan di Warung Ndalem selalu hidup, seakan di sana adalah tempat di mana semua canda, tawa, dan diskusi ringan berkumpul. Di sela-sela kesibukan belajar dan mengaji, tempat itu adalah ruang istirahat sejenak, melepaskan penat dan saling berbagi cerita.
Dan di sanalah, di antara nasi goreng pedas yang meledak di lidah dan obrolan ringan yang mengalir, persahabatan, harapan, dan bahkan cinta, tumbuh perlahan namun pasti.
Tawa Santri dan Humor Kang Rohmat

Di sudut pondok, di bawah pohon besar yang menaungi warung kecil penuh canda tawa, Kang Rohmat selalu menjadi pusat perhatian. Lelaki itu tinggi kurus, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tak ada hari yang sepi jika Kang Rohmat sudah memulai aksinya. Dari cerita-cerita lucu yang kadang tak masuk akal, hingga candaan segar yang selalu membuat para santri tertawa lepas.
"Hei, tahu nggak kenapa nasi di Ngemplak ini lebih cepat habis?" tanyanya suatu sore, saat beberapa santri sedang duduk santai di pelataran.
Salah seorang santri menjawab sambil mengernyitkan dahi, "Kenapa, Kang?"

Kang Rohmat mengangkat alis, tersenyum lebar, "Soalnya di sini doanya kuat! 'Allahumma barik lana, waqina adzaban naar'—langsung habis berkahnya!"
Gelak tawa pun pecah. Para santri sampai menepuk-nepuk punggungnya karena tak kuat menahan tawa. Tak ada yang mampu menghidupkan suasana seperti Kang Rohmat. Ia seperti perantara kebahagiaan sederhana di tengah padatnya hafalan dan pelajaran kitab.
Di sela-sela candanya, Kang Rohmat sering menyelipkan nasihat bijak. "Santri itu jangan cuma bisa ngaji, harus bisa menghibur juga. Ngemplak ini bukan cuma tempat belajar, tapi tempat hidup. Kalau cuma hafal teks, tapi lupa caranya tertawa, hidupmu berat, Le."
Kata-kata itu selalu diingat oleh mereka yang mendengarnya. Bahwa tawa di sela-sela belajar adalah nikmat, bahwa canda di antara keseriusan adalah hiasan perjalanan panjang mencari ilmu.

Lapangan dan Semangat Gus Hikam
Lapangan sepak bola di Ngemplak selalu menjadi tempat pelepasan energi para santri. Setiap sore, debu-debu berterbangan, menandai semangat yang tumpah di sana. Dan di tengah lapangan itulah, seorang sosok dengan semangat membara selalu hadir—Gus Hikam, si penggila sepak bola.
Ia tidak pernah absen, bahkan ketika hujan sekalipun. "Bola itu seperti ilmu, harus dikejar terus. Jangan sampai lepas!" katanya setiap kali menggiring bola ke tengah lapangan. Gus Hikam bukan sekadar bermain, ia memimpin. Setiap instruksi yang ia berikan di lapangan, dituruti oleh semua santri dengan penuh semangat.
"Umpan, umpankan ke kanan!" teriaknya pada seorang santri yang terlihat kebingungan dengan bola di kakinya. Bola meluncur cepat, disambut dengan tendangan keras oleh Kang Yazid yang tiba-tiba muncul di depan gawang. "Goolll!" suara sorakan menggema, memecah kesunyian sore itu.

Setelah pertandingan, mereka duduk melingkar di pinggir lapangan. Gus Hikam memimpin doa bersama dengan tangan masih penuh debu, senyumnya lebar, matanya berbinar. "Ingat, main bola itu bukan soal menang atau kalah, tapi soal semangat dan kebersamaan," ucapnya sambil merangkul bahu Kang Yazid.
Lirboyo bukan sekadar pesantren yang penuh dengan hafalan dan pelajaran. Di lapangannya, para santri belajar arti sportivitas, kerja sama, dan semangat pantang menyerah. Dan Gus Hikam adalah pengobar semangat itu, setiap sore, tanpa jeda, tanpa lelah.
Penjajahan Kuliner oleh Kang Yazid
Kang Yazid terkenal di Ngemplak sebagai "penjajah kuliner." Bukan tanpa sebab, ia seakan hafal di luar kepala setiap sudut warung dan kios kecil yang menjual makanan enak di sekitar pondok. Dari nasi goreng maut Kang Bayu sampai seblak ndombleh di samping mushola, tak ada satu pun yang luput dari penjelajahannya.

Setiap kali ada warung baru yang buka, Kang Yazid akan menjadi yang pertama mencicipinya. "Le, hidup itu singkat. Kalau bisa mencoba semua rasa, kenapa tidak?" katanya dengan senyum khasnya. Beberapa santri sampai menjadikannya sebagai pemandu wisata kuliner. "Kalau pengen yang pedas, ikut aku ke Wardex. Kalau pengen yang manis, ke Putri di depan Warung Ayaya," ucapnya fasih.

Kebiasaan Kang Yazid ini tak jarang membuatnya menjadi rujukan ketika santri lain bingung mencari tempat makan. Ia seperti peta hidup yang hafal setiap detail rasa dan tempat. Bahkan, Kang Pijat sering menggodanya, "Kamu ini kayak katalog berjalan, Kang Yazid." Mereka tertawa bersama, menyadari betapa uniknya kebiasaan itu.
Pertemuan Pertama dengan Ning Amelia Khumaira
Langit Ngemplak menjelang senja selalu membawa kedamaian. Di pelataran Masjid Ngemplak, para santri mulai berkumpul setelah shalat Ashar. Mereka duduk melingkar, sebagian membaca kitab, sebagian lagi berdiskusi hangat. Di tengah keramaian itu, Kang Pijat tengah berdiri sambil merapikan pecinya, matanya menatap arah Gedung Arafah, gedung tinggi yang kokoh di sisi barat pondok.

“Pijat! Hei, melamun ya?” suara serak Kang Yazid tiba-tiba menggelegar di belakangnya, membuatnya tersentak.
“Lho, kamu Yazid. Bikin kaget saja! Dari mana?” balas Kang Pijat sambil tersenyum.
Yazid menyeringai, di tangannya sudah tergenggam dua bungkus nasi kucing dan tiga tusuk sate usus. “Dari warungnya Kang Bayu. Kamu mau?” tawarnya sambil menyodorkan nasi kucing itu.
Kang Pijat tertawa kecil. “Selera kamu nggak berubah ya, tetap nasi kucing. Kayaknya kamu perlu sesekali coba yang lebih berat, biar nggak cuma kenyang angin.”
Mereka tertawa bersama. Di tengah tawa itu, tiba-tiba suasana berubah hening ketika sebuah suara lembut terdengar dari arah AlHubb. Kang Pijat menoleh. Seorang perempuan dengan kerudung anggun berwarna krem, melangkah pelan bersama beberapa santri putri di belakangnya. Langkahnya tenang, senyumnya tipis, tetapi cukup memancarkan wibawa.

“Itu... Ning Amelia Khumaira?” tanya Kang Pijat setengah berbisik.
Yazid mengangguk dengan senyum penuh arti. “Ya, itu Ning Amel. Putri dari Kiai Mahfudz. Katanya beliau aktif ngajar di madrasah putri dan juga punya butik busana syar’i.”
Kang Pijat terdiam. Ada sesuatu dalam sorot mata Ning Amel yang membuatnya terpaku. Bukan sekadar kecantikan, tapi keteduhan yang terasa menenangkan. Suasana sejenak hening, hingga Yazid menepuk pundaknya.

“Hei, jangan melamun di siang bolong. Santri Ngemplak nggak boleh gitu,” goda Yazid sambil tertawa kecil.
Kang Pijat tergagap, lalu ikut tertawa. “Nggak, aku cuma...ya, jarang lihat beliau. Mungkin karena aku lebih sering di warungnya Kang Bayu daripada di madrasah,” katanya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
Namun, sejak hari itu, langkah Kang Pijat ke arah An-Nahdliyah menjadi sedikit lebih sering. Tentu saja, ia beralasan untuk mengambil kitab atau sekadar mengantar tulisan ke LBM. Tetapi Yazid selalu menyindirnya, “Kitabmu tiba-tiba jadi rajin keluar masuk An-Nahdliyah ya? Jangan-jangan udah jatuh hati?”
Kang Pijat hanya tersenyum tipis, menepis godaan itu dengan gelengan kepala. Tetapi dalam hatinya, ia tahu, ada sesuatu yang mulai bersemi—perlahan, namun pasti.

Dialog Cinta dalam Bingkai Ilmu
Matahari baru saja tergelincir dari puncaknya ketika Kang Pijat duduk di beranda Masjid Lawang Songo. Di depannya terbuka lebar kitab "Alfiyah Ibnu Malik", baris-barisnya melengkung indah, seakan menari di atas lembaran kertas. Pikirannya melayang-layang di antara syair-syair itu, hingga suara lembut menyapanya.
“Masih hafal bait yang ke-15?”
Kang Pijat menoleh, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati sosok Ning Zitna Khumaira berdiri di dekat pilar masjid, membawa kitab yang sama. Senyumnya teduh, matanya tajam namun bersahabat.
“Eh, I-iya...insyaAllah hafal,” jawab Kang Pijat sedikit gugup.

Ning Zitna melangkah mendekat, lalu duduk dengan anggun di depannya. “Boleh saya dengar? Bait ke-15, tentang maf’ul bih,” pintanya lembut.
Kang Pijat meneguk ludah, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. “Bismillah...” ia memulai, “Wa maf’ulun bihi wa man’ashahu, alfi’lu aw shibhu hu min bihi waju...”
Ning Zitna tersenyum dan mengangguk. “Bagus. Jarang santri sekarang yang hafal dengan fasih seperti itu,” pujinya.
Wajah Kang Pijat memerah. “A-anu...saya sering ngulang di kamar, Ning.”
Percakapan itu berlanjut, dari satu bait ke bait lainnya. Tidak ada canggung, tidak ada kikuk, hanya percakapan dua insan yang mencintai ilmu. Dalam setiap kalimat yang terucap, seakan ada jembatan tak kasat mata yang menghubungkan keduanya. Lirboyo menjadi saksi, ketika ilmu menjadi alasan pertemuan mereka, dan kitab menjadi perantara hati yang tak terucap.

Jejak Langkah di Masjid Ngemplak
Masjid Kuno Ngemplak selalu memancarkan ketenangan yang unik, seakan setiap derap langkah santri di dalamnya menyatu dalam harmoni doa-doa panjang. Di sudut selatan, di dekat rak-rak kitab yang tertata rapi, Kang Pijat duduk bersila dengan kitab Fathul Qarib terbuka di hadapannya. Sorot matanya fokus, bibirnya berkomat-kamit mengulang-ulang hafalan, namun pikirannya tidak sepenuhnya di sana.
Bayangan pertemuan singkat dengan Ning Amelia beberapa hari lalu terus terngiang di benaknya. Cara Ning Amel mengoreksi hafalannya, senyuman lembut yang seolah menggema dalam ingatannya, dan tatapan mata yang tak sekadar melihat, tapi seakan memahami.
Suara langkah pelan mendekat. Kang Pijat refleks menoleh, dan di sana, berdiri anggun dengan kerudung berwarna pastel, Ning Amel tersenyum manis. Tangannya membawa kitab kecil bersampul hijau tua. “Assalamu’alaikum, Kang Pijat,” sapa Ning Amel lembut.
“Wa’alaikumussalam, Ning,” balas Kang Pijat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Ning Zitna melangkah pelan, duduk di sebelahnya. Aroma melati tipis menguar dari kerudungnya, menambah suasana menjadi semakin tenang. “Lagi murojaah?” tanyanya dengan senyum manis yang tak pernah lekang.
“Iya, sedikit murojaah Fathul Qarib. Kebetulan tadi ada beberapa bait yang terlewat hafalannya,” jawab Kang Pijat sambil menggaruk kepala.
Ning Amel tersenyum lembut, membuka kitab kecilnya dan menunjukkan halaman yang sedang ia baca. “Kebetulan saya juga sedang murojaah. Mungkin kita bisa sama-sama melengkapi yang terlupa,” ujarnya, kali ini dengan tatapan mata yang lebih dalam.
Kang Pijat tersenyum, sedikit gugup, tapi ia menyambut ajakan itu. Keduanya mulai membaca dengan suara pelan, saling mengoreksi jika ada yang salah, dan sesekali tertawa kecil ketika ada kesalahan lucu yang terucap.
Setelah beberapa saat, Ning Amel menutup kitabnya pelan. “Kang Pijat,” panggilnya lembut.
“Iya, Ning?” jawab Kang Pijat, sedikit terkejut dengan nada suara Ning Amel yang berubah lebih lembut dan dalam.
“Terima kasih, ya. Jarang sekali ada teman murojaah yang bisa seasyik ini,” ucap Ning Amel dengan senyum manis. Kali ini, matanya menatap langsung ke mata Kang Pijat, seolah mencari jawaban di sana.
Kang Pijat sedikit tersentak, tapi senyumnya merekah. “Sama-sama, Ning. Saya yang seharusnya berterima kasih. Kalau sendirian, mungkin saya sudah menyerah di halaman pertama,” jawabnya polos.

Ning Zitna tersenyum semakin lebar, lalu perlahan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya. Sebuah pena berwarna emas dengan ukiran indah di gagangnya. Ia menyerahkannya kepada Kang Pijat. “Ini... sebagai kenang-kenangan. Biar kalau murojaah lagi, kamu ingat kalau ilmu itu harus ditulis, dan ditulis dengan cinta.”
Kang Pijat menerimanya dengan tangan sedikit gemetar. “Ini...untuk saya, Ning?”
Ning Amel mengangguk pelan. “Iya. Anggap saja sebagai teman belajar,” katanya sambil tersenyum. Matanya berbinar, menandakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Di antara riuh rendah santri yang melangkah di pelataran masjid, seakan waktu berhenti, menyisakan ruang bagi keduanya untuk meresapi kehadiran masing-masing.
Kang Pijat mengusap pena itu dengan lembut, merasakan ukiran di permukaannya. “Terima kasih, Ning. Saya akan ingat,” ucapnya tulus.

Ning Amel tersenyum lagi, kali ini lebih lembut, lebih dalam. “Saya harap begitu, Kang Pijat. Karena ilmu itu memang seharusnya dirawat, seperti kita merawat hati.”
Kang Pijat terdiam. Kalimat itu mengendap dalam hatinya, melahirkan rasa yang hangat dan menggetarkan. Ning Zitna bangkit pelan, mengangguk sopan, dan berlalu meninggalkan wangi melati yang samar namun melekat di ingatan.

Kang Pijat menatap punggung Ning Amel yang semakin menjauh, dan dalam hati ia tahu, bahwa perasaan itu bukan sekadar persahabatan. Mungkin, di antara bait-bait Alfiyah dan baris-baris Fathul Qarib, ada nama Ning Amel yang terselip di sana, menunggu untuk diungkapkan.
An-Nahdliyah dan Asa Perjuangan
Gedung An-Nahdliyah berdiri megah di sisi timur Ngemplak, menjadi saksi bisu perjalanan para santri dalam meniti ilmu. Setiap sudutnya penuh cerita; dari lantai berderit yang disapu saban pagi, hingga jendela besar yang memandang langsung ke arah pelataran masjid. Di sinilah, para santri putra dan putri berkumpul dalam majelis ilmu, berbagi cerita, dan kadang—berbagi rasa.

Siang itu, Kang Pijat datang lebih awal dari biasanya. Tangan kanannya menggenggam kitab kuning lusuh yang penuh coretan kecil di setiap marginnya. Ia melangkah pelan menuju rak kitab di ruang utama, sesekali menyapa santri yang lewat dengan senyum hangat. Ketika ia tengah sibuk mencari tempat duduk, tiba-tiba suara lembut menyapanya dari belakang.
“Kang Pijat, hari ini datang lebih pagi, ya?”
Kang Pijat berbalik, sedikit terkejut. Ning Amel berdiri di sana, mengenakan gamis sederhana berwarna mint dengan jilbab lembut menjuntai hingga pinggang. Wajahnya memancarkan keteduhan, senyumnya tak pernah lepas.
“Iya, Ning. Kebetulan ada bahasan baru di kitab, jadi ingin murojaah lebih awal,” jawab Kang Pijat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup lebih cepat.
Ning Zitna tersenyum kecil, matanya berbinar. “Bagus sekali. Oh iya, saya mau ke ruang musyawarah. Kang Pijat mau ikut? Mungkin kita bisa diskusi bareng.”
Kang Pijat sedikit terkejut, tapi langsung mengangguk. “I-iya, tentu. Dengan senang hati, Ning.”
Tanpa banyak bicara lagi, mereka melangkah beriringan menuju ruang musyawarah. Di sepanjang lorong An-Nahdliyah yang sejuk itu, obrolan kecil pun tercipta.
“Ning Amel selalu ngajar di sini tiap hari?” tanya Kang Pijat, berusaha mencairkan suasana.
Ning Zitna mengangguk. “Iya. Selain ngajar di madrasah, kadang saya ikut musyawarah LBM juga. Lumayan, bisa belajar banyak soal hukum-hukum yang dibahas.”
Kang Pijat mengangguk-angguk, kagum dengan keseriusan Ning Zitna dalam belajar. “Hebat sekali, Ning. Saya sendiri kadang masih bingung kalau sudah masuk bahasan fiqih yang rumit.”
Ning Amel tersenyum, kali ini lebih lebar. “Kang Pijat jangan merendah. Saya dengar, di Warung Ndalem itu, Kang sering jadi tempat bertanya para santri. Itu bukti kalau Kang Pijat memang paham ilmu.”
Kang Pijat tersipu, wajahnya sedikit memerah. “Ah, itu karena saya sering nongkrong di sana saja, Ning. Kalau di An-Nahdliyah ini, saya masih jauh tertinggal.”
Tiba-tiba, suara riuh rendah terdengar dari arah ruang musyawarah. Seorang santri berlari tergopoh-gopoh mendekati mereka. “Ning Amel! Ada masalah di ruang musyawarah! Tadi Kang Yazid sama Gus Hikam debat soal bab qiyas. Sekarang jadi rame!”
Ning Am dan Kang Pijat saling berpandangan. Tanpa banyak bicara, mereka segera melangkah cepat menuju ruang musyawarah. Di sana, suasana sudah riuh. Kang Yazid dengan semangatnya menjelaskan panjang lebar tentang qiyas dalam bab jual beli, sementara Gus Hikam menggeleng-gelengkan kepala, bersikeras bahwa yang dimaksud adalah bab ijarah (sewa-menyewa).
“Kang, kalau qiyas itu kan analogi. Bab jual beli dan ijarah jelas beda!” tegas Gus Hikam sambil menunjuk kitab di tangannya.
“Lho, tapi di sini ditulis soal kaidah umum, Gus! Kalau begitu, jual beli dan sewa-menyewa itu tetap bisa diqiyaskan!” jawab Kang Yazid, tak mau kalah.
Ning amel melangkah maju, suaranya lembut namun penuh wibawa. “Kang Yazid, Gus Hikam... kalau boleh, saya ingin menengahi sedikit.”
Keduanya langsung terdiam, menoleh ke arah Ning amel yang kini sudah berdiri di depan mereka.
“Kita coba lihat kembali kitabnya, ya?” ujar Ning amel sambil tersenyum. Dengan teliti, ia membuka halaman demi halaman, mencari bagian yang diperdebatkan. Tak sampai lima menit, ia menemukan jawabannya.
“Di sini disebutkan bahwa qiyas dalam bab jual beli dan ijarah itu memiliki kemiripan dalam prinsipnya, tapi objeknya berbeda. Jadi, sebenarnya kalian berdua tidak sepenuhnya salah, hanya berbeda sudut pandang,” jelas Ning Zitna lembut.
Kang Yazid dan Gus Hikam saling pandang, lalu tertawa lepas. “Wah, ternyata cuma sudut pandang ya? Pantesan nggak ketemu-temu!” ujar Kang Yazid sambil mengusap kepala.
Kang Pijat tersenyum kecil melihat interaksi itu. Dan di tengah tawa mereka, ia mendapati pandangan Ning Amel tertuju padanya. Pandangan itu berbeda—hangat, teduh, dan entah kenapa, ia merasakan sejuknya sampai ke dalam hati.
“Terima kasih, Ning,” ujar Kang Pijat sambil tersenyum tulus.
Ning amel hanya tersenyum kembali. “Sama-sama, Kang. Di Ngemplak ini, kita belajar bukan cuma soal ilmu, tapi soal hati.”
Kang Pijat tertegun. Kata-kata Ning amel meresap dalam, meninggalkan kesan yang sulit dihapus. Di An-Nahdliyah itu, ia merasakan bukan sekadar belajar ilmu, tapi juga belajar makna cinta yang sederhana, namun begitu nyata.
Magbaroh – Merenung dalam Sunyi
Malam itu, angin berhembus pelan di sekitar Magbaroh, tempat peristirahatan terakhir bagi banyak ulama dan para santri yang telah mengabdi dengan tulus di Lirboyo. Suasana sunyi, hanya terdengar suara desiran angin dan gemerisik daun-daun yang bergoyang. Namun, di balik keheningan itu, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tak tampak oleh mata, namun bisa dirasakan oleh hati.
Kang Pijat duduk di pinggir Magbaroh, menatap nisan-nisan yang tertata rapi. Bibirnya bergumam pelan, mengingat-ingat kembali seluruh pelajaran yang telah ia terima selama ini. Setiap langkah yang ia tempuh seolah mengingatkan pada jejak-jejak sejarah yang tertinggal di sini, jejak-jejak para kiai yang mengajarkan lebih dari sekadar ilmu agama—mereka mengajarkan tentang kehidupan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Kang Pijat menoleh, dan di sana, tampak Ning Zitna berjalan menuju ke arahnya, dengan langkah ringan namun penuh keyakinan.
“Ning amel?” panggil Kang Pijat. Suaranya lirih, seolah tak ingin mengganggu ketenangan malam.
Ning amel berhenti sejenak, menatap Kang Pijat dengan senyum lembut. “Kang Pijat, apakah kamu sedang merenung di sini?” tanyanya, suara lembut namun penuh pengertian.
Kang Pijat mengangguk pelan. “Iya, Ning. Kadang kita perlu kembali ke tempat seperti ini, untuk merasakan betapa kecilnya kita di hadapan Allah, dan betapa banyak yang masih harus dipelajari.”
Ning Zitna duduk di sebelahnya, diam sejenak, menatap langit yang dipenuhi bintang. “Kang Pijat... pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupmu?”
Kang Pijat terdiam, pertanyaan itu begitu dalam, seolah menyentuh sesuatu yang selama ini ia pendam. “Sering, Ning. Terkadang, meski aku sudah merasa cukup dalam hal ilmu, aku merasa ada ruang kosong yang sulit diisi. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini, rasanya ruang itu mulai terisi.”
Ning amel tersenyum, pandangannya tetap tertuju pada langit. “Itulah yang aku rasakan juga, Kang. Mungkin, hidup ini bukan hanya soal mengejar ilmu atau amal, tapi juga tentang bagaimana kita memberi arti pada segala yang ada di sekitar kita.”
Kang Pijat menatap Ning amel, sedikit terkejut dengan kedalaman kata-katanya. “Dan bagaimana kita memberi arti itu, Ning?”
Ning amel menoleh, mata mereka bertemu. Dalam tatapannya, Kang Pijat merasakan sesuatu yang begitu kuat, sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. “Dengan cinta, Kang. Memberi arti dengan cinta yang tulus, baik itu dalam belajar, dalam mengajar, atau bahkan dalam setiap langkah yang kita ambil.”
Kang Pijat terdiam, kata-kata Ning amel seolah meresap dalam hatinya. Ia merasakan ada kehangatan yang menyelimuti hatinya, yang selama ini ia cari, tapi belum ia temukan. Mungkin, ia telah menemukannya sekarang, dalam sosok Ning Zitna.
Tiba-tiba, suara tawa riang terdengar dari kejauhan, mengingatkan keduanya bahwa meskipun di tengah keheningan, Ngemplak selalu hidup dengan segala aktivitasnya. Mereka berdua menoleh, dan terlihat Kang Bayu sedang berjalan mendekat dengan membawa nampan berisi nasi goreng pedas yang menggugah selera.
“Ning, Kang Pijat! Ini dia, nasi goreng super pedas! Khusus buat kalian yang sedang merenung dan butuh sesuatu yang menghangatkan jiwa!” kata Kang Bayu dengan senyum lebar.
Kang Pijat dan Ning amel tertawa. “Kang Bayu, selalu saja ada cara untuk meramaikan suasana,” kata Ning amel sambil tertawa kecil.
“Nasi goreng pedas ini bukan hanya untuk perut, tapi juga untuk hati!” kata Kang Bayu sambil meletakkan nampan di atas meja kayu di depan mereka.
Mereka bertiga duduk bersama, menikmati nasi goreng dengan penuh canda tawa. Meskipun suasana malam yang tenang begitu terasa, kehadiran mereka seolah membawa warna baru—waktu yang seharusnya diisi dengan renungan, kini menjadi penuh tawa dan kebersamaan.
Kang Pijat menatap wajah Ning el yang cerah dengan senyumannya. Tiba-tiba, ia merasa bahwa hidup tidak hanya soal mencari ilmu, tetapi juga soal membangun hubungan yang tulus, dan cinta yang saling menguatkan.
Dan saat itu juga, di bawah langit Lirboyo yang dihiasi bintang, Kang Pijat menyadari bahwa ruang kosong yang ia rasakan selama ini, mungkin hanya bisa terisi dengan satu hal yang tak terduga: cinta yang sederhana, namun begitu kuat, yang hadir tanpa paksaan, dan tumbuh seiring waktu.
Persimpangan Hati dan Takdir
Ngemplak malam itu dipenuhi dengan keheningan yang membawa ketenangan sekaligus menggugah jiwa. Angin semilir membelai setiap sudut, seperti bisikan lembut dari masa lalu. Tidak ada yang lebih indah dari malam yang tenang, selain mungkin percakapan yang penuh makna antara dua hati yang saling memahami.
Kang Pijat duduk di bangku taman, dengan wajah penuh renungan. Di dekatnya, Ning Zitna, dengan senyum yang selalu mampu mencairkan segala kegelisahan, duduk sambil menatap langit malam. Ada bintang-bintang yang gemerlap di atas mereka, seolah menyaksikan percakapan yang sedang terjalin.
Kang Pijat memecah keheningan, suara lembutnya menembus kesunyian malam. “Ning… apa yang kamu cari dalam hidup ini?”
Ning Amel menoleh, mata mereka bertemu. Ada kedalaman yang tak bisa dijelaskan dalam pandangan itu. “Aku mencari arti, Kang. Sesuatu yang bisa membuatku merasa utuh. Aku ingin lebih dari sekadar menjadi istri seorang kiai, aku ingin menjadi seseorang yang bermanfaat, yang memberi. Tapi sering kali aku merasa sepi, meskipun dikelilingi banyak orang.”
Kang Pijat terdiam, hatinya terasa tersentuh. “Aku pun merasakannya, Ning. Kadang, kita belajar dengan keras, menuntut ilmu seakan seluruh dunia ada di ujung jari, namun ada kekosongan yang tak bisa diisi. Seperti buku-buku yang kita baca, yang tak pernah selesai kisahnya, selalu ada bab yang hilang.”
Ning Amel menghela napas, matanya menatap bulan yang bersinar lembut. “Kang, kadang aku bertanya, apakah kita hanya diciptakan untuk mengejar ilmu, untuk menjadi ahli dalam hal-hal duniawi? Tapi ketika aku melihat Magbaroh, aku tahu… ada sesuatu lebih dalam yang harus aku cari.”
Kang Pijat menatap Ning Zitna, suara hatinya seperti tertahan di tenggorokannya. “Mungkin kita diciptakan untuk mencari makna, Ning. Untuk memahami bahwa hidup ini bukan hanya tentang menjawab pertanyaan besar, tetapi juga tentang menemukan keindahan dalam setiap langkah kecil yang kita ambil.”
Ning Amel tersenyum, lalu berkata perlahan, “Dan mungkin keindahan itu ada pada kita yang saling berbagi. Sebagaimana setiap ayat dalam kitab ini, yang meski kadang sulit dipahami, selalu memiliki hikmah yang dalam jika kita mau meluangkan waktu untuk memahami.”
Di sisi lain taman, suara tawa riang terdengar. Kang Bayu, si bos warung Ndalem, datang dengan membawa sebaskom nasi goreng. “Ning, Kang Pijat, ini nih, nasi goreng pedas buat menghangatkan suasana!” katanya dengan tawa lebar, seolah tak peduli dengan percakapan mendalam yang baru saja terjadi.
Ning amel tertawa, matanya berbinar. “Kang Bayu, memang tidak ada habisnya dengan nasi gorengmu!”
Kang Pijat tersenyum, meskipun hati kecilnya masih terhanyut dalam percakapan tadi. “Betul, Kang Bayu, nasi gorengmu selalu bisa menghidupkan suasana.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar mendekat. Gus Hikam, si penggila sepakbola, dengan gaya khasnya yang santai, muncul dari balik pepohonan. “Apa kabar, kalian? Lagi meracik filosofi hidup ya?” tanyanya dengan nada bercanda, namun matanya yang tajam seperti tahu ada sesuatu yang lebih dalam dalam percakapan mereka.
Kang Yazid muncul dengan senyum lebar, membawa sepotong roti dan segelas air. “Sudah pada lapar ya? Jangan hanya sibuk dengan teori, perut harus diisi juga!”
Lalu mereka semua duduk bersama di bawah pohon besar, menikmati hidangan sederhana yang terasa begitu nikmat. Percakapan pun berlanjut, tapi kali ini dengan nada lebih santai. Meski demikian, setiap kata yang keluar seolah membawa makna yang lebih dalam dari sekadar canda tawa.
Kang Yazid menyela pembicaraan dengan pertanyaan yang menggelitik. “Ning Zitna, saya penasaran, Kang Pijat sudah bilang apa kepada kamu tentang perasaan hatinya? Jangan-jangan dia malah takut ngomong langsung?”
Semua mata tertuju pada Kang Pijat. Ia terkejut, lalu tertawa canggung. “Apa yang kamu maksud, Kang Yazid?”
Ning Amelia tersenyum lembut, namun ada kilau di matanya. “Mungkin dia takut dengan perasaannya sendiri,” jawabnya pelan, namun dengan begitu tegas.
Kang Pijat menatapnya, matanya berbinar. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menuntun hatinya untuk berbicara. “Ning, kadang perasaan itu seperti angin, datang tanpa kita duga, dan pergi begitu saja jika kita terlalu takut untuk merasakannya.”
Ning Amel menatapnya dengan lembut, “Tapi kadang, Kang, perasaan itu perlu kita jaga. Seperti bunga yang perlu dirawat agar tetap mekar.”
Kang Bayu, yang mendengar percakapan itu, ikut tersenyum. “Wah, kalian ini, seperti sedang berpuisi. Perasaan itu memang susah dijelaskan, apalagi di Ngemplak yang penuh dengan ilmu ini.”
Gus Hikam tertawa. “Benar, Bayu. Tapi apa artinya ilmu kalau kita tidak tahu cara menyentuh hati orang lain dengan penuh kasih?”
Malam semakin larut, dan suasana di bawah pohon besar itu semakin hangat dengan obrolan mereka. Kang Pijat menatap Ning Amelia, dan ia tahu bahwa di dalam hatinya, ada perasaan yang mulai tumbuh. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, tapi begitu nyata.
Dan di bawah langit penuh bintang itu, Ngemplak menjadi saksi bisu dari perjalanan hati yang belum selesai, dari perasaan yang mulai tumbuh, dan dari takdir yang seolah telah menulis cerita mereka berdua.
Lembah Hati yang Tak Terungkap
Malam semakin larut, dan Ngemplak tetap tenang. Di antara deretan pepohonan yang rindang, terdengar suara-suara dari dalam pesantren, dari kamar-kamar santri yang dipenuhi dengan doa dan zikir. Namun, ada satu sudut yang selalu menjadi tempat untuk berbincang, tempat bagi Kang Pijat dan Ning Amel untuk berkomunikasi dengan hati mereka.
Malam ini, mereka berdua duduk di beranda pesantren, ditemani oleh secangkir the hangat. Ning Zitna memandangi Kang Pijat, matanya tajam dan penuh rasa ingin tahu. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang belum diungkapkan oleh Kang Pijat. Ada keraguan yang tampaknya mengganjal di hatinya, meskipun semuanya terlihat sempurna di luar.
“Kang,” kata Ning Amelia perlahan, “Apa yang membuatmu ragu, akhir-akhir ini? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, aku bisa merasakannya.”
Kang Pijat menatapnya dengan tatapan lembut, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang dirasakannya. Ia memang merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesibukan mengajar dan beramal di pesantren. Sesuatu yang membuat hatinya semakin terikat pada Ning amel, namun juga membingungkannya.
“Aku… Ning,” Kang Pijat berkata dengan suara pelan, “Ada kalanya aku merasa tak layak untukmu. Kamu terlalu cerdas, terlalu kuat, dan aku sering merasa bahwa aku hanyalah seorang pria biasa yang hanya tahu tentang ilmu-ilmu dunia dan agama, tanpa kemampuan untuk membahagiakanmu sepenuhnya.”
Ning Amel terdiam sejenak, mencoba memahami kata-kata Kang Pijat. Ia mengulurkan tangan, menyentuh tangan Kang Pijat dengan lembut. “Kang, apa yang kamu katakan itu tidak benar. Kamu lebih dari cukup. Kamu bukan hanya cerdas dalam ilmu agama, tetapi juga dalam hati. Kamu mengajarkan aku banyak hal, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan setiap tindakanmu.”
Kang Pijat menghela napas, menatap tangan Ning Amel yang masih terulur. “Tapi Ning, hidup ini penuh ketidakpastian. Apa yang kita lakukan kadang terasa seperti debu yang terbang, tak meninggalkan bekas. Aku takut, kita akan kehilangan arah di tengah perjalanan.”
Ning Amel tersenyum, dan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. “Jika kita berjalan bersama, Kang, maka tak ada yang perlu kita takutkan. Selama kita memiliki keyakinan pada takdir, selama kita bersama dalam perjuangan ini, maka takdir apapun yang datang akan kita hadapi bersama.”
Kang Pijat menatapnya dalam-dalam. Kata-kata Ning Amel seperti angin yang menyejukkan hatinya, menghapus segala ketakutan yang selama ini ia rasakan. “Aku berjanji akan selalu berjalan bersamamu, Ning. Dalam setiap langkah, aku akan melangkah denganmu.”
Ning Amelia menggenggam tangan Kang Pijat erat. “Dan aku akan selalu ada untukmu, Kang. Dalam suka dan duka, aku akan berjalan bersamamu. Kita akan menemukan makna hidup ini, bersama.”
Suasana malam itu terasa semakin magis. Tiba-tiba, suara riuh terdengar dari arah warung Ndalem. Kang Bayu, dengan tawa khasnya, berlari menuju mereka. “Eh, kalian berdua! Lagi berpuisi di sini? Ayo, kita makan nasi goreng! Sudah kelamaan kalian berdua terjebak dalam dunia perasaan!”
Ning Amelia tertawa, sementara Kang Pijat hanya tersenyum sambil menggoda, “Tunggu, Kang Bayu. Kami sedang berbicara tentang kehidupan dan takdir!”
“Ah, takdir, takdir…!” kata Kang Bayu sambil tertawa. “Yang penting nasi gorengnya jangan terlambat, ya! Perasaan itu bisa dibicarakan sambil makan!”
Tak lama kemudian, Gus Hikam dan Kang Yazid muncul, masing-masing dengan senyum lebar mereka. Gus Hikam membawa bola sepak, sementara Kang Yazid membawa sepiring roti bakar. “Jangan-jangan kalian sudah terlalu serius membicarakan takdir! Ayo, bermain bola dulu!”
Percakapan ringan mereka mengisi malam yang penuh kehangatan itu. Tetapi meskipun canda tawa memenuhi udara, ada sesuatu yang lebih dalam dalam hati setiap orang yang duduk bersama di sana. Mereka semua tahu bahwa perasaan mereka—baik itu cinta, kebahagiaan, ataupun kekhawatiran—adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak bisa terpisahkan.
Pada akhirnya, saat malam semakin larut dan mereka berpisah untuk kembali ke tempat masing-masing, Kang Pijat dan Ning Amel tetap berdiri di bawah langit yang penuh bintang. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun mereka siap menghadapinya bersama.
Kang Pijat menatap Ning Amel dengan lembut. “Ning, aku ingin berjanji lagi. Aku tidak akan ragu lagi. Aku akan selalu ada untukmu, dalam setiap langkah hidup kita.”
Ning Amel tersenyum, matanya berbinar. “Aku juga, Kang. Kita akan terus melangkah bersama. Tak ada yang akan menghalangi kita.”
Dengan janji itu, mereka berjalan bersama menuju masa depan, meninggalkan jejak-jejak indah yang tak akan pernah terhapuskan. Dan di dalam hati mereka, cinta itu tumbuh dengan kuat, seperti pohon yang akarnya sudah tertanam dalam tanah yang subur.
Akhir yang Bahagia
Waktu berjalan dengan cepat di Ngemplak . Hari-hari yang penuh dengan tawa, canda, dan perenungan telah mengukir kenangan indah bagi setiap penghuni pesantren. Namun, ada sesuatu yang lebih indah dari semuanya itu: sebuah cerita yang berakhir dengan kebahagiaan yang sempurna.
Kang Pijat dan Ning Amel, setelah melewati berbagai lika-liku kehidupan, akhirnya berada pada titik di mana hati mereka saling mengisi dengan penuh cinta. Cinta yang tumbuh seiring dengan perjalanan waktu, yang tumbuh bukan hanya dalam kebersamaan, tetapi juga dalam segala pengertian dan kesabaran.
Suatu sore, di tengah taman pesantren, Kang Pijat berdiri di depan Ning Amel. Langit senja memberikan cahaya lembut, memantulkan warna-warna indah di sekitar mereka. “Ning,” kata Kang Pijat dengan suara yang tenang namun penuh makna. “Aku ingin bertanya padamu, apakah kau bersedia berjalan bersama dalam setiap langkah hidupku, dalam suka dan duka, dalam ilmu dan amal, dan membangun rumah yang penuh cinta ini bersama?”
Ning Amel menatapnya dengan mata yang berbinar, hatinya penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Perlahan, dia mengangguk dan berkata, “Kang, aku sudah lama berharap kita bisa berada di jalan yang sama. Aku ingin berbagi hidup ini denganmu, dengan segala suka dan dukanya. Aku ingin menjadi bagian dari perjalananmu, dalam mencari ilmu, dalam mencintai Allah, dan tentu saja, mencintaimu.”
Kang Pijat merasakan hatinya berdebar. Tak ada kata yang lebih indah dari itu. Dia mengambil tangan Ning Amel dengan lembut, dan perlahan berbisik, “Jika demikian, maka izinkan aku menjadi suamimu, Ning. Menjadi bagian dari hidupmu yang penuh dengan cinta dan makna.”
Mereka berdua saling memandang, dan dalam tatapan itu, mereka tahu bahwa hidup mereka kini telah berpadu menjadi satu kisah yang tak terpisahkan.
Beberapa minggu kemudian, di hadapan para keluarga, santri, dan sahabat-sahabat terdekat mereka, Kang Pijat dan Ning Amel mengucapkan janji suci di sebuah upacara sederhana yang penuh berkah. Gus Hikam, yang memimpin akad nikah, berkata dengan penuh kebanggaan, “Inilah pernikahan yang penuh dengan keberkahan, yang menggabungkan dua hati yang penuh cinta, serta ilmu dan amal yang terus tumbuh bersama.”
Setelah pernikahan mereka, kehidupan di Ngemplak semakin semarak. Kang Pijat dan Ning Amel menjadi pasangan yang tidak hanya saling mendukung dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam dakwah dan pengajaran. Mereka membuka sebuah madrasah kecil di pesantren, tempat anak-anak belajar dan tumbuh dalam ilmu agama dan pengetahuan duniawi. Dengan penuh dedikasi, mereka mengajarkan anak-anak untuk tidak hanya menjadi pribadi yang baik, tetapi juga mencintai ilmu, seni, dan sastra.
Tidak lama setelah menikah, mereka dikaruniai anak pertama, seorang bayi perempuan yang mereka beri nama Aisyah. Aisyah tumbuh menjadi anak yang cerdas, penuh semangat, dan penuh kasih sayang. Lalu, datanglah anak kedua, seorang laki-laki yang diberi nama Hasan. Seiring berjalannya waktu, keluarga kecil ini semakin berkembang, dengan banyak anak yang membawa kebahagiaan dan kegembiraan di setiap sudut rumah mereka.
Kang Pijat dan Ning Amel menemukan kebahagiaan sejati dalam peran mereka sebagai suami-istri, sebagai pendidik, dan sebagai orang tua. Kehidupan mereka adalah bukti bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari harta atau status, melainkan dari cinta yang tulus, pengorbanan, dan rasa syukur yang mendalam.
Di setiap malam, setelah mengajar, mereka duduk bersama di ruang tamu sederhana mereka. Ning Amel duduk di samping Kang Pijat, sambil memandangi anak-anak yang sudah tertidur lelap. “Kang,” Ning Amel berkata dengan lembut, “Kita sudah sampai sejauh ini, dengan segala kebahagiaan yang kita raih. Aku merasa sangat diberkahi.”
Kang Pijat menatapnya dengan penuh cinta. “Ini adalah buah dari perjuangan kita bersama, Ning. Allah memberikan kita kebahagiaan ini karena kita saling mencintai dan mendukung dalam segala hal.”
Ning Amel tersenyum, menunduk, lalu berkata, “Aku tak pernah membayangkan hidup akan seindah ini, Kang. Setiap hari bersama kamu adalah anugerah.”
Kang Pijat meraih tangan Ning Amel, mencium punggung tangannya dengan lembut. “Dan aku juga, Ning. Setiap hari bersamamu adalah rahmat yang tak ternilai harganya.”
Mereka berdua duduk diam, hanya menikmati kebersamaan itu. Terkadang, kebahagiaan datang bukan dari hal-hal besar, tetapi dari kehadiran orang yang kita cintai, yang selalu mendukung kita tanpa syarat. Dan di bawah langit Ngemplak yang penuh bintang, Kang Pijat dan Ning Amel tahu bahwa mereka telah menemukan arti sejati dari hidup mereka.
Akhir Cerita
Kisah Kang Pijat dan Ning Amel adalah kisah cinta yang tak hanya diwarnai dengan tawa dan kebahagiaan, tetapi juga dengan perjuangan, pengorbanan, dan pengertian. Mereka mengajarkan bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang komitmen dan usaha untuk membangun sesuatu yang lebih besar—sebuah keluarga yang penuh dengan kasih, ilmu, dan keberkahan. Dan dengan kebahagiaan itu, mereka menjalani hidup mereka dengan penuh makna, menjadi teladan bagi semua orang di Ngemplak dan sekitarnya.
Epilog: Ngemplak yang Tak Pernah Usai
Ngemplak tetap menjadi tempat yang penuh kehidupan, penuh dengan ilmu, dan penuh dengan cinta. Pesantren ini selalu menjadi saksi bisu dari perjalanan banyak hati, dari cinta yang tumbuh di antara para santri, dan dari takdir yang menyatukan mereka. Di setiap sudutnya, ada kisah yang menunggu untuk diceritakan, dan bagi Kang Pijat dan Ning Zitna, kisah mereka hanya merupakan satu dari sekian banyak cerita indah yang tumbuh di tanah ini.
Dan Ngemplak, seperti tak pernah usai, terus hidup dengan penuh keberkahan, dengan setiap langkah yang diambil oleh mereka yang mencintai ilmu, dan lebih dari itu—mencintai kehidupan itu sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar