Mengurai Makna, Merajut Hukum: Gramatika Arab di Lirboyo (Bagian 2)


Ketika Musyawarah Menjadi Medan Laga, dan Santri-Santri Jadi Pendekarnya

Jika pada bagian pertama kita menyaksikan bagaimana gramatika Arab menjadi jalan menuju pemahaman hukum Islam, maka pada bagian kedua ini kita akan menyelami denyut kehidupan para santri yang menekuni ilmu tersebut. Lebih dari sekadar pelajaran, mereka menapakinya dengan tawa, lelah, debat panjang, dan kadang—kepleset harakat.

Malam yang Mengandung "Laa" dan "Inna"

Malam itu, angin lembab Lirboyo membelai lampu-lampu temaram di serambi pondok. Seperti biasa, para santri kelas dua ‘aliyah berkumpul mengelilingi kitab Tashilul Mantiq. Di antara mereka, tampak dua tokoh yang akan menjadi bintang malam: Zaki, si jenaka yang selalu tertukar antara fa’il dan maf’ul, dan Usman, si perfeksionis yang kalau salah satu harakat saja, wajahnya langsung merah padam.

Ustadz Nasir membuka musyawarah malam itu dengan pertanyaan ringan, “Jika ada seseorang berkata: ‘Inna Zaidan Qooma’, apa yang salah?”

Zaki dengan mantap menjawab, “Tidak ada yang salah, Ustadz. Yang salah itu... mungkin nasib Zaid.”

Tawa pun pecah. Bahkan Usman yang biasanya serius, tersenyum juga. Tapi Ustadz Nasir tak ikut tertawa. Ia mengangguk pelan lalu berkata, “Kalau gramatikamu seperti itu, bisa-bisa kamu menikahkan orang yang seharusnya dicerai.”

Zaki langsung diam. Gurauan tadi baru saja berubah menjadi ancaman kehidupan. Sejak itu, ia mulai menulis dengan tinta merah setiap kata yang mengandung "inna"—takut salah satu hari nanti dia benar-benar jadi juru nikah desa.

Ketika Al-Khabar Dicuri Santri Ngantuk

Lirboyo punya satu aturan tak tertulis: jangan ikut musyawarah dalam keadaan lapar, atau ngantuk. Karena dua hal itu bisa membelokkan makna kalimat.

Suatu malam, pembahasan sedang hangat. Kitab Tafsir Jalalain sedang dibedah. Topik masuk ke ayat tentang warisan. Keterangan panjang dari Imam As-Suyuthi disambung dengan penjelasan i’rab ayat.

“Mana khabar dari inna di ayat ini?” tanya moderator musyawarah, seorang santri senior bernama Faiz.

Santri yang ditunjuk berdiri sambil menguap. Ia memicingkan mata ke kitab, lalu menunjuk satu kata dengan penuh percaya diri, “Yang ini... fi buyūtin adzinallāhu an turfa’a... inilah khabar-nya, insyaAllah.”

Faiz menghela napas, lalu berkata, “Itu bukan khabar, itu alamat rumah…”

Gelak tawa kembali meledak. Tapi dari candaan itulah santri belajar: bahwa menguasai gramatika bukan hanya tentang mengingat, tapi memahami konteks dan logika.

Kejeniusan yang Datang di Dapur

Di balik keseriusan belajar, Lirboyo juga melahirkan kisah-kisah inspiratif yang sederhana tapi mendalam. Suatu kali, ada seorang santri yang tak begitu menonjol di kelas, tapi selalu aktif mencatat di dapur pondok.

“Ngapain kamu ngaji nahwu sambil ngaduk sayur?” tanya temannya.

Ia menjawab, “Kalau sayur ini matang, dan saya hafal Al-Jurumiyah sampai bab badal, berarti saya belajar dengan barokah.”

Dan benar saja, saat sayur matang, ia tak hanya hafal bab badal, tapi juga bisa menjelaskan contoh aplikatifnya dari Fathul Wahhab. Ia kemudian dikenal sebagai "Ustadz Dapur" karena kajiannya selalu penuh rasa—secara literal maupun maknawi.

Kegigihan yang Tak Luntur oleh Salah Harakat

Belajar di Lirboyo bukan tentang siapa yang paling cepat hafal, tapi siapa yang paling sabar mengulang. Ada satu kisah terkenal tentang santri bernama Fauzi, yang hafal 100 bait Alfiyah, tapi selalu tertukar antara mudhaf dan mudhaf ilaih. Suatu hari ia ditegur,

“Fauz, kalau kamu salah terus, nanti kamu bukan jadi penafsir hukum. Kamu bisa jadi tersangka i’rab.”

Fauzi tak tersinggung. Ia malah menulis bait sendiri untuk mengingat:

Kalau mudhaf ada di depan,
Saudaranya datang jadi tumpuan,
Kalau salah letak keterangan,
Bisa-bisa salah paham dan berantakan.

Kini, ia menjadi salah satu pengajar nahwu di cabang pondok daerah, dikenal karena cara mengajarnya yang penuh perumpamaan kocak namun mudah dipahami.


Penutup: Bahasa Arab, Tawa, dan Cahaya

Di Lirboyo, gramatika Arab bukan ilmu yang membosankan. Ia disajikan dengan semangat musyawarah, diberi ruh oleh para santri yang belajar dengan sungguh-sungguh, dan diwarnai gelak tawa yang menghidupkan malam-malam panjang. Karena di balik baits yang dihafalkan, ada cinta pada ilmu dan umat.

Maka, siapa pun kamu—pemula yang baru mengenal fa’il, atau penikmat kitab kuning yang sedang menelusuri tafsir istinbathi—di Lirboyo kamu akan belajar satu hal: bahwa ilmu bahasa Arab tidak hanya mengajarkan bagaimana berbicara, tapi bagaimana memahami hidup.

Posting Komentar

0 Komentar