Mengurai Makna, Merajut Hukum (Bagian 4): Ketika Langit Membisikkan Petuah




Pagi itu kabut tipis menyelimuti kawasan Lirboyo. Udara segar meresap hingga ke dada, membawa aroma tanah basah dan doa-doa santri yang belum genap. Di teras musala kecil, Kang Selo duduk melingkar bersama dua tamu tak biasa: Mbah Pijat dari Boyolali, seorang ahli urat sekaligus penikmat syair kuno, dan Kang Batsu dari Sukoharjo, mantan preman pasar yang kini nyantri dan hafal Alfiyah setengah juz.

“Aku rindu rokok Gudang Garam Merah,” gumam Kang Selo, menyelipkan sebatang ke bibirnya. “Tapi lebih rindu lagi pada jati diri yang sering tersembunyi di balik kebiasaan.”

“Rindu itu sumber ilmu, Le,” sahut Mbah Pijat sambil menepuk lutut Kang Selo. “Orang belajar karena kehilangan. Orang ngaji karena sadar bahwa hatinya keropos.”

Kang Batsu tertawa kecil, suaranya parau tapi teduh. “Aku dulu nyekek orang karena utang tempe. Sekarang nyekek hawa nafsu saban malam. Lirboyo membuatku kalah dalam banyak hal, tapi menang dalam satu: mengenali diri sendiri.”

Petang itu, mereka berjalan menuju maqbarah. Di bawah redup cahaya lampu minyak, mereka duduk bersila. Mbah Pijat mulai bercerita tentang gurunya di Boyolali, yang sekali pijat bisa menguraikan simpul dendam seseorang. “Ilmu itu bukan sekadar bacaan, tapi perasaan. Kau bisa hafal ratusan kitab, tapi kalau tak bisa mengurut luka orang lain, kau hanya rak buku berdebu.”

Kang Selo menunduk. Dalam kepulan asap rokoknya, ia melihat bayang-bayang masa lalu: malam-malam panjang tanpa arah, debat tanpa hikmah, ngaji tanpa hati. Kini, bersama dua sosok yang tak disangka menjadi cermin kehidupan, ia merasa tercerahkan. Bukan oleh dalil panjang, tapi oleh pengalaman sederhana yang jujur.

“Lirboyo ini bukan tempat sembarang,” ujar Kang Batsu lirih. “Di sini, orang bertemu bukan karena kebetulan. Tapi karena Tuhan sedang menulis kisah dengan caranya sendiri.”

Langit malam itu tenang. Suara santri mengaji dari surau kecil terdengar seperti nyanyian lembut. Dan di antara mereka, tiga sosok duduk diam—tapi hati mereka sedang bergerak: mengurai makna, merajut hukum, dan mencari jalan pulang.

Posting Komentar

0 Komentar