Mbah Pijat, Balaghah, dan Hikmah di Balik Urat Leher yang Lelah
Di antara ratusan santri yang lalu-lalang di lorong pondok Lirboyo, ada satu sosok yang tak bisa kau abaikan. Tubuhnya renta, kakinya lambat, tapi matanya bening seperti embun subuh. Namanya Mbah Pijat, datang dari pelosok Boyolali. Bukan kiai, bukan pengajar resmi, tapi disebut "profesor balaghah" oleh para santri sendiri. Keahliannya bukan hanya pada urat tubuh yang ia urut, tapi juga pada urat makna yang ia urai.
Bukan Mbah Biasa
Usianya lebih dari enam puluh. Rambutnya memutih bersahaja. Di siang hari, ia menerima santri-santri yang terkilir atau salah bantal. Tapi di malam hari, ia jadi peserta tetap Musyawarah Batsul Masail. Tak satu pun santri berani menyepelekan pendapatnya.
Suatu malam, diskusi membahas perbedaan qiyas jali dan istihsan dalam hukum jual beli. Para santri muda bersilang pendapat, satu menyebut pendapat Imam Malik, satu lagi membenturkan dengan madzhab Syafi’i. Mbah Pijat diam. Hingga akhirnya, dengan suara beratnya, ia berkata:
“Jual beli itu bukan hanya soal ijab dan qabul, Nak. Tapi juga ridha di dada dan lapang di jiwa. Maka lihatlah bahasa yang digunakan Rasul, bukan hanya lafaz tapi juga suasana.”
Semua terdiam. Tak ada yang membantah. Karena Mbah Pijat memang bukan ahli debat. Ia ahli rasa, yang memahami bahasa bukan hanya dari struktur tapi dari ruhnya.
Pijat dan I’rab: Dua Ilmu Satu Hati
Zaki, si santri jenaka dari bagian sebelumnya, pernah ke kamar Mbah Pijat karena salah posisi tidur usai ronda malam. Sambil memijat, Mbah berkata:
“Nak, tahu nggak, kenapa kamu ngaji Alfiyah tapi masih sering salah i’rab?”
Zaki nyengir, “Karena saya kurang cerdas, Mbah?”
Mbah tertawa pelan. “Bukan, Le. Karena kamu kurang sabar. I’rab itu kayak sendi. Kalau kamu paksa tanpa urut, ya ngilu. Ilmu juga begitu, harus diurut dari sabar, sabar, sabar. Baru paham.”
Zaki tertegun. Sejak itu, ia mulai rajin murojaah dan… mulai jarang dipijat.
Balaghah: Saat Mbah Pijat Berubah Jadi Penyair Langit
Tak banyak yang tahu, Mbah Pijat hafal Diwan Al-Mutanabbi, dan memahami Majaz, Kinayah, hingga Tibaq dengan cara yang bahkan guru balaghah pun dibuat terheran.
Suatu kali, saat diskusi tafsir Surat Yusuf, pembahasan tentang kata "wa ghallaqatil abwāb" muncul. Seorang santri bertanya:
“Mbah, kenapa Al-Qur'an tidak bilang ‘menutup pintu’ saja? Kenapa pakai bentuk mubalaghah?”
Mbah tersenyum sambil menyeduh wedang jahe:
“Karena yang dikisahkan bukan sekadar menutup pintu rumah, Nak. Tapi menutup seluruh peluang Yusuf untuk lari. Itu bukan bahasa fisik—itu bahasa keadaan. Bahasa yang menekan jiwa.”
Santri-santri terpaku. Satu kalimat Mbah, bisa menggantikan dua lembar syarah tafsir.
Hidup dari Jari, Hidupkan Ilmu dari Hati
Tak seperti santri lain yang dikirimi uang oleh orang tua, Mbah Pijat menghidupi dirinya sendiri. Ia merantau ke Lirboyo sejak umur empat puluh, membawa satu tas berisi kitab dan minyak gosok. Siang ia urutkan leher para santri, malam ia urutkan makna dari Alfiyah dan Balaghah.
Pernah ada santri yang heran dan bertanya, “Mbah, kenapa njenengan ngaji terus, padahal sudah tua?”
Mbah menjawab sambil mengangkat kitab Matan Jawahirul Balaghah:
“Selama aku belum mengurut makna terakhir dari kalam Allah dan sabda Rasul, aku belum selesai hidup. Karena hidupku bukan untuk tenang—tapi untuk terus belajar.”
Penutup: Dari Punggung yang Letih, Lahir Jiwa yang Jernih
Mbah Pijat mengajarkan kita bahwa belajar tak perlu muda, tak perlu sempurna, tak perlu kiriman dari rumah. Cukup cinta pada ilmu, cukup sabar pada makna, dan cukup keyakinan bahwa setiap kalimat dalam kitab salaf punya hikmah yang harus digali.
Di tangan tuanya, sendi yang bengkak bisa sembuh. Tapi di pikirannya, harakat yang salah bisa menyesatkan. Maka ia pelajari keduanya—dengan hati yang bersih, dan lidah yang lirih.
Siapa tahu, di balik bau minyak gosok dan jari yang mengurut, tersembunyi seorang ulama besar yang tak pernah ingin terkenal—tapi dicintai para malaikat karena keikhlasannya menghidupkan ilmu.
0 Komentar